Internal Warta

Truk Berlin: Bincang Cerpen Karya Hassan Blasim

Catatan Kegiatan Reading Club PPM Aswaja Nusantara (Cabang Baciro)

Oleh: M. Naufal Waliyuddin

Yogyakarta, pada Rabu 24 Mei 2023 telah dilaksanakan agenda rutin bincang buku oleh Reading Club Pesantren Pelajar-Mahasiswa (PPM) Aswaja Nusantara. Tepatnya, di asrama daerah Baciro yang mayoritas dihuni mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

Kegiatan kali ini membahas cerpen karya seorang penulis sekaligus sutradara kelahiran Baghdad – Irak, Hassan Blasim, berjudul “Truk Berlin”. Materi disampaikan oleh Nabil, alumni prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga, sehingga tak heran jika ia dapat mengakses cerpen tersebut dari versi bahasa Arab langsung.

Nabil sedang menyampaikan materi | Sumber Foto: ©Dani Yot

Nabil sedang menyampaikan materi | Sumber Foto: ©Daniyot

Dalam prosesnya, Nabil membabarkan biografi ringkas Hassan Blasim terlebih dahulu sebelum masuk ke isi cerpen. Nabil menjelaskan bahwa Hassan Blasim, pengarang yang lahir 1973 ini, selain menulis cerpen ia juga menggarap novel dan sinematografi. Latar ceritanya kerap memotret realitas yang sarat konflik, tragedi dan kegetiran yang ada di Irak. “Gaya penceritaanya,” tutur Nabil, “cukup berbeda dengan penulis segenerasinya.”

Hassan Blasim seperti mampu menyisipkan unsur kemasygulan, ambiguitas, dan ragam keanehan dalam setiap karangannya. Lewat cerpen “Truk Berlin” sendiri, misalnya, Hassan memintal kisah perjalanan orang-orang yang bermigrasi ke luar negeri karena keadaan negara yang tidak menentu, kelaparan di mana-mana, tidak stabil, kebak rasa panik, dan konflik yang tak kunjung usai. Dan cara termurah untuk kabur keluar negeri adalah dengan penyelundupan. Di sinilah keseruan cerita sekaligus deskripsi Hassan semakin tajam.

Rombongan truk Berlin berisi 35 pemuda Irak yang dibantu penyelundup untuk kabur via jalur darat. Perjalanan memakai truk muatan buah ekspor dari Istanbul menuju Berlin. Setiap orang dikenakan 4000 dolar sebagai ongkos. Penyelundupnya kebetulan seorang Haji bernama Ibrahim, yang sudah pergi haji tiga kali berkat pekerjaan gelap itu–secuplik potret masygul khas Hassan Blasim.

Alur cerita dibalut pengarang dengan deskripsi penuh ketengangan. Orang-orang tidak diperkenankan keluar bak seenaknya–maklum, penyelundupan. Tanpa ponsel, kencing di botol, menahan napas begitu memasuki perbatasan antarnegara, dan mereka harus tetap tenang.

Kembara gelap itu membutuhkan waktu berhari-hari. Bekal seadanya, minum pas benar-benar haus. Sirkulasi udara pun hanya lewat satu lubang kecil. Memasuki hari ketiga, kepanikan mulai menjalar. Esoknya, terjadi chaos. Ada yang menggedor-gedor, ada teriakan, jerit-menjerit. Suara minta tolong yang sia-sia, misuh, ada pula yang baca ayat suci Al-Quran. Rasa cemas memuncak.

Peserta bincang buku sedang menyimak | Foto oleh: ©Daniyot

Cerita lantas ditutup dengan nuansa kengerian. Tentara Serbia menemukan truk itu di tengah hutan. Mereka membuka truk dan mendapati satu ‘orang gila’ melompat keluar, berjalan dengan empat kaki seperti serigala–dengan kedua tangannya–lantas lari ke belantara hutan. Di dalam bak truk itu, tercecer 34 mayat yang tak lagi berbentuk. Tumpukan mayat itu tercabik-cabik, bukan karena senjata tajam, melainkan seperti habis diterkam dan dikoyak hewan buas. Bak truk itu dipenuhi darah, kencing, organ dalam yang robek berceceran, mata yang copot, dan semua wujud bekas kekejaman binatang buas. Semua menjadi seperti adonan yang terdiri dari daging, darah, dan tai.

***

Menyambut penceritaan dan pembahasan cerpen itu, salah satu peserta memberi tanggapan. Potret dalam cerpen tersebut seakan mengembalikan ingatan pada ungkapan Thomas Hobbes: homo homini lupus. Manusia bagi manusia lain adalah serigala. Di sini, komentarnya, secara tidak langsung Hassan Blasim seolah mempertegas bahwa “ketika orang lapar, mereka tidak bisa berpikir rasional.” Tidak aneh jika ada yang menjadi serigala salah satu dari 35 orang di truk.

Tanggapan dan pertanyaan lain muncul. Peserta reading club, yang juga mayoritas mahasiswa dengan jurusan berbeda-beda ini, ikut urun rembug perspektif dari sisi sastra, psikologi Abraham Maslow, hingga konteks sosial-politik imigrasi dan mafia perdagangan orang.

Bincang buku kali ini dipuncaki dengan pertanyaan soal kiat-kiat menulis yang dapat diperas dari cerpen Hassan Blasim dan rekomendasi bacaan lainnya bagi teman-teman yang awam dalam dunia sastra. Sebagian besar hadirin diskusi menyebutkan judul-judul buku favorit, nama penulis, dan saling bertukar rekomendasi.

Kegiatan ini dilangsungkan rutin sebagai ajang saling-tukar pengetahuan dan bacaan, sekaligus wahana latihan untuk mahasiswa dan anak muda lainnya dalam mempresentasikan bacaannya ke teman sejawat. Pemantik dan moderatornya ditunjuk secara bergilir dengan tema dan buku yang dipilih sendiri sesuai selera. Harapannya, dengan agenda rutin reading club iniPPM Aswaja Nusantara dapat mewadahi potensi mahasiswa sekaligus rehat sejenak dari distraksi medsos, game, dan aneka hiburan sejenis.

Peristiwa semacam ini, secara tak langsung, turut menambah daftar inisiatif literasi sipil yang, sekalipun kecil, telah ikut menularkan semangat baca dalam diri mahasiswa. Saya sebagai seorang asing yang menyelundup masuk dan ikut menyimak pun turut senang dan mendukung–minimal lewat upaya dokumentasi kecil ini.[]

Tulisan ini adalah catatan reportase dari acara Reading Club di PPM Aswaja Nusantara Cabang Baciro pada 24 Mei 2023, dan telah dimuat oleh situs metafor.id

Author

Ponpes Aswaja

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *