Artikel Opini

Siyasah Kiai Perspektif Gus Yusuf Chudlori

Oleh: Imam Muhajir Dwi Putra

Ekspresi budaya umat Islam Indonesia dalam menyampaikan dakwah tidak dapat dipisah dengan aktivitas ceramah agama yang disampaikan oleh para ulama. Transmisi pengetahuan agama secara lisan menjadi langkah taktis dan efektif untuk menyebarkan pemahaman ajaran agama kepada masyarakat. Kiai Muhammad Yusuf Chudlori yang akrab dengan nama pena Gus Yusuf dalam ceramahnya di pesantren Baitul Kilmah (Danar, 2023) memberi penjelasan kandungan makna QS. Adz-Dzariyat [51]: 56 yang dihubungkan dengan pandangan fiqih politik di Indonesia.

Penekanan makna لِيَعْبُدُوْنِ dalam QS. Adz-Dzariyat [51]: 56 yang dilakukan Gus Yusuf diarahkan pada penjelasan terkait perangkat tertentu yang dibutuhkan dalam aspek ibadah. Menurutnya, penggalan ayat tersebut menuntun umat Islam ikut serta dalam proses kontestasi politik elektoral untuk menciptakan kebijakan pemerintah yang mendukung kemaslahatan umat. Partisipasi politik umat Islam diartikan sebagai perantara (al-wasilah) sedangkan tujuan berpolitik adalah menciptakan kekhidmatan ibadah kepada Allah SWT.

Pemahaman Gus Yusuf memiliki hubungan erat dengan perannya sebagai salah satu narasumber di “Halaqah Pendidikan Politik Santri” yang mengangkat tema, Revitaslisasi Fiqh Siyasi-Turots untuk Membangun Ideologi Politik Praktis 2024 (Kilmah, 2023). Pembahasan tema halaqah tersebut mempengaruhi Gus Yusuf untuk melakukan interpretasi ayat menggunakan unsur eksternal al-Qur’an (fiqh siyasah) yang berdampak pada kandungan makna ayat yang bernuansa politik.

Wacana politik yang diintegrasikan dengan kandungan makna dilakukan dengan cara pengaplikasian kaidah ushul fiqh ketika menafsirkan ayat. Gus Yusuf menyebutkan suatu kaidah yang digunakan untuk mengungkap makna implisit (tersembunyi) yang terkandung dalam redaksi wahyu. Untuk sampai pada level wacana politik, ia menggunakan kaidah ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib (sesuatu yang menjadi sempurna karenanya, maka ia menjadi wajib).

Kandungan makna لِيَعْبُدُوْنِ diidentifikasikan dengan dua bentuk ibadah, yaitu ritual agama dan politik elektoral. Pertama, ibadah dalam bentuk ini dijelaskan dengan kriteria jenis peribadatan hamba kepada Tuhan, relasi vertikal ini sebagai ‘tujuan’ dari pelaksanaan ibadah sosial. Kedua, berpolitik bagi umat Islam dianggap sebagai ibadah sosial-horizontal yang menjadi perantara kondusifitas ibadah bentuk pertama dari berbagai gangguan, termasuk kebijakan pemerintah yang destruktif.           

Penafsiran QS. Adz-dzariyat [51]: 56

            وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ              

Artinya: “Dan aku tidak menciptkan Jin dan Manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku”. 355-360

M. Quraish Sihab dalam karya magnum opusnya menguraikan dengan komperhensif penjelasan ayat di atas. Uraian tafsir diawali dengan menjelaskan hubungan kandungan ayat 56 dengan kelompok ayat sebelumnya, QS. Adz-dzariyat [51]: 52-55. Korelasi antar ayat dalam satu surat dapat membentuk kesatuan makna dan pemahaman maksud utama dari suatu ayat.

Quraish menjelaskan maksud utama ayat ke-56 yang menjelaskan rasionalisasi dari perintah bersegera kembali kepada Allah (ayat 54-55). Hal demikian karena Quraish memahami redaksi (ayat 52-53) mengenai perilaku kaum musyrik Mekkah yang melampaui batas kepada Nabi Muhammad dengan sebutan seorang penyihir atau orang gila.

Bentuk rasionalisasi ibadah (ayat 56) dalam penafsiran Quraish dapat dilihat dari analisis kebahasaan. Penyebutan الإنس (manusia) setelah kata الجن (jin) menunjukkan aspek balagah al-Qur’an, jin dalam hal ini diciptakan lebih dahulu sebelum manusia.

Adapun asbab nuzul ayat ini menurut Quraish dengan menyadur pandangan Thabathaba’i berkaitan dengan kecaman al-Qur’an kepada kaum musyrikin yang menyekutukan Allah, selain itu, juga ancaman kepada mereka atas penolakannya terhadap realitas setelah kehidupan dunia. Dengan melihat konteks tekstual ayat, Quraish menafsirkan kata لِيَعْبُدُوْنِ dalam arti segala bentuk perbuatan manusia bernilai ibadah jika sesuai dengan tuntunan-Nya dan demi karena Allah (Shihab, Juz13, 2005: 355-360).

Politik Kiai

Pemahaman Gus Yusuf atas QS. Adz-Dzariyat [51]: 56 menunjukkan perluasan makna dari kata لِيَعْبُدُوْنِ dengan penekanan nalar politik daripada makna obyektif ayat. Intensi wacana politik dalam memahami ayat dapat dilihat dari produksi makna ibadah ke dalam ranah politik. Berpolitik sebagai bagian dari pelaksanaan perintah agama menurutnya telah dilakukan oleh para kiai terdahulu dengan konteksnya masing-masing. Politik kiai dalam hal ini dimaksudkan pada kontribusi Kiai dalam pemerintahan yang menitikberatkan kemaslahatan umat di setiap kebijakan yang akan disusun.

Penjelasan Gus Yusuf tentang hubungan agama dan politik sebagai kesatuan yang tidak bisa dipisah, pada kenyataannya tidak dipahami dengan baik oleh umat Islam Indonesia. Relasi keduanya dalam konteks ke-Indonesiaan selalu dilekatkan dengan anggapan negatif karena akibat dari sikap apolitis rezim Orde Baru yang merepresi partai Islam.

Dikotomi sakral dan profan diidentifikasikan pada Islam sebagai entitas yang sakral sedangkan politik pada ranah profan. Penjelasan kata لِيَعْبُدُوْنِ yang dilakukan Gus Yusuf dapat dipahami sebagai upaya menyingkirkan stereotipe yang merusak relasi agama dan politik.[]

Referensi:

Danar. (2023). Fiqih Siyasah Turos untuk Bekal Ideologi Politik Santri | KRJOGJA. Krjogja.Com. https://www.krjogja.com/berita-lokal/read/512793/fiqih-siyasah-turos-untuk-bekal-ideologi-politik-santri

Kilmah, B. (2023). Halaqah Pendidikan Politik Santri 2023 | Pesantren Kreatif Baitul Kilmah. In Baitul Kilmah. www.YouTube.com. https://www.youtube.com/watch?v=_VRVdHTQErI&t=14916s

Shihab, Q. (2005). Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Lentera Hati.

Author

Ponpes Aswaja

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *