Perkembangan Aswaja di Pesantren Nusantara

Ahlussunnah wal Jamaah atau yang sering disingkat Aswaja merupakan sebuah manhaj atau jalan pemikiran dalam Islam yang berakar pada tradisi para ulama salafus shalih. Ajaran ini menekankan pada keseimbangan antara akidah, syariat, dan tasawuf dengan tetap menjaga kesetiaan pada ajaran Rasulullah, sahabat, dan para tabi’in. Dalam konteks Nusantara, Aswaja menjadi arus besar keagamaan yang tidak hanya memengaruhi corak keberagamaan masyarakat, tetapi juga menjadi fondasi bagi lahirnya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Sejarah perkembangan Aswaja di pesantren Nusantara tidak bisa dilepaskan dari proses panjang masuknya Islam ke kepulauan ini, peran para ulama penyebar dakwah, serta dinamika sosial politik yang melingkupinya.

Islam mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-13, meski sebagian catatan sejarah menyebutkan jejaknya telah ada sejak abad ke-7 melalui jalur perdagangan. Pada tahap awal, Islam diperkenalkan oleh para pedagang muslim dari Gujarat, Arab, dan Persia. Akan tetapi, yang membuat Islam benar-benar membumi di Nusantara adalah peran para ulama yang kemudian dikenal dengan sebutan Walisongo. Mereka bukan hanya penyebar agama, tetapi juga pendidik, budayawan, dan pemimpin masyarakat. Strategi dakwah yang ditempuh Walisongo sangat khas, yakni menggunakan pendekatan kultural yang akomodatif terhadap tradisi lokal. Dengan cara ini, Islam tidak datang sebagai kekuatan yang menyingkirkan budaya setempat, melainkan hadir sebagai ruh baru yang memberi makna religius bagi praktik budaya masyarakat. Pendekatan inilah yang kelak menjadi ciri utama pesantren di bawah naungan Aswaja, yakni sikap moderat, toleran, dan kontekstual.

Dalam bidang teologi, pesantren di Nusantara sejak awal mengadopsi paham Asy’ariyah dan Maturidiyah yang merupakan representasi teologi Aswaja. Kedua aliran ini menekankan keseimbangan antara nash (teks wahyu) dan akal, menolak ekstremitas rasionalisme murni sebagaimana dalam Mu’tazilah maupun fatalisme kaku seperti dalam Jabariyah. Ajaran ini kemudian dibumikan melalui pengajaran kitab-kitab aqidah seperti Aqidatul Awam, Jawharat at-Tauhid, dan al-Sanusiyah. Para santri dibekali pemahaman teologis yang tidak hanya kokoh secara intelektual, tetapi juga menumbuhkan sikap keagamaan yang penuh toleransi. Dari sini terlihat bahwa pesantren menjadi benteng sekaligus laboratorium pengembangan Aswaja di Nusantara.

Dalam bidang fikih, pesantren di Nusantara mengikuti mazhab Syafi’i yang menjadi salah satu dari empat mazhab besar dalam Islam. Pemilihan mazhab Syafi’i bukan tanpa alasan. Mazhab ini dikenal moderat, adaptif terhadap tradisi, dan memiliki metodologi istinbat hukum yang sesuai dengan konteks masyarakat agraris maritim Nusantara. Kitab-kitab fikih karya ulama Syafi’iyah seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, hingga I’anah al-Talibin menjadi bacaan utama di pesantren. Dengan penguasaan fikih mazhab Syafi’i, para santri tidak hanya diajarkan tata cara ibadah ritual, tetapi juga etika sosial yang mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan negara. Keberpihakan pada mazhab Syafi’i sekaligus menjadi penanda kuat identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Aswaja.

Sementara itu, dalam bidang tasawuf, pesantren Nusantara menekankan ajaran yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Tasawuf yang dikembangkan bukanlah tasawuf ekstrem yang menolak syariat, melainkan tasawuf yang bersifat etis dan aplikatif. Melalui pengajaran kitab-kitab seperti Ihya Ulumuddin, al-Hikam Ibn ‘Athaillah, atau Bidayat al-Hidayah, santri dididik agar memiliki kepekaan spiritual sekaligus akhlak mulia. Inilah yang membentuk wajah pesantren yang humanis, damai, dan jauh dari sikap keras. Dimensi tasawuf dalam Aswaja membuat pesantren mampu melahirkan ulama sekaligus pemimpin masyarakat yang kharismatik, dihormati, dan dekat dengan rakyat.

Memasuki abad ke-18 dan 19, pesantren tumbuh subur di berbagai wilayah Nusantara, terutama di Jawa dan Madura. Pesantren tidak hanya menjadi pusat pengajaran ilmu-ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme. Banyak kiai pesantren yang terjun dalam perjuangan melawan penjajah dengan menjadikan ajaran Aswaja sebagai landasan ideologis. Nilai tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil) yang terkandung dalam Aswaja melahirkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini tampak jelas dalam resolusi jihad yang digelorakan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang menjadi momentum penting perlawanan santri terhadap kolonialisme. Sejak saat itu, pesantren dan Aswaja semakin identik dengan perjuangan kebangsaan.

Perkembangan Aswaja di pesantren juga tidak bisa dipisahkan dari peran Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926. Organisasi ini didirikan oleh para ulama pesantren dengan tujuan menjaga ajaran Aswaja di tengah derasnya arus modernisme Islam yang sering kali mengabaikan tradisi. NU menjadi wadah perjuangan intelektual sekaligus sosial bagi kalangan pesantren. Melalui NU, ajaran Aswaja tidak hanya dipertahankan di ruang-ruang pengajian kitab, tetapi juga disebarluaskan melalui berbagai program sosial, pendidikan, dan dakwah. Pesantren pun mendapatkan legitimasi yang lebih kuat sebagai pusat pendidikan Aswaja yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya.

Pada era modern, pesantren menghadapi tantangan baru berupa arus globalisasi, perkembangan teknologi, dan munculnya paham-paham keagamaan yang berseberangan dengan Aswaja. Gerakan transnasional dengan ideologi skripturalis-literal sering kali mencoba memengaruhi masyarakat dengan pemahaman agama yang kaku. Di sinilah pesantren kembali memainkan peran penting sebagai penjaga tradisi Aswaja. Melalui bahtsul masail, forum diskusi keagamaan, hingga dakwah digital, pesantren berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai Aswaja agar tetap relevan. Sikap moderat yang diajarkan dalam Aswaja terbukti menjadi modal penting dalam menjaga harmoni kehidupan beragama di Indonesia yang plural.

Selain itu, integrasi Aswaja dalam kurikulum pesantren modern juga mengalami pengembangan. Jika dahulu santri hanya mempelajari kitab kuning dengan metode sorogan dan bandongan, kini banyak pesantren yang menggabungkannya dengan kurikulum formal nasional. Tujuannya agar santri tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki kompetensi dalam ilmu pengetahuan umum. Meski demikian, orientasi Aswaja tetap menjadi pondasi utama. Nilai-nilai tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal diajarkan tidak hanya dalam teks, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari santri. Dengan cara ini, pesantren tetap menjadi benteng Aswaja sekaligus pusat lahirnya generasi muslim yang mampu menghadapi tantangan zaman.

Sejarah perkembangan Aswaja di pesantren Nusantara menunjukkan sebuah proses dialektika yang dinamis antara ajaran Islam, tradisi lokal, dan perubahan sosial. Pesantren berhasil menjadikan Aswaja bukan hanya sebagai doktrin teologis, tetapi juga sebagai pedoman hidup yang membentuk watak dan budaya masyarakat. Dari masa Walisongo, perjuangan melawan kolonial, hingga era digital, Aswaja terus hadir sebagai jalan tengah yang mampu menjaga keutuhan ajaran Islam sekaligus merawat harmoni sosial. Dengan fondasi yang kuat di pesantren, Aswaja diyakini akan tetap menjadi arus utama dalam kehidupan beragama di Nusantara, sekaligus memberi kontribusi nyata bagi peradaban dunia Islam.

Artikel Terkait

Artikel Terbaru