Aswaja sebagai Basis Moderasi Beragama di Pesantren

Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja merupakan manhaj keagamaan yang sejak berabad-abad lalu menjadi arus utama dalam perkembangan Islam di Nusantara. Aswaja tidak hanya sekadar aliran teologis atau mazhab fikih, melainkan juga sebuah cara pandang hidup yang menyatukan dimensi akidah, syariah, dan tasawuf. Dalam konteks pendidikan pesantren, Aswaja tidak hanya diajarkan sebagai doktrin keilmuan, tetapi juga dijadikan basis utama dalam membentuk sikap keagamaan santri. Salah satu dimensi terpenting dari Aswaja adalah posisinya sebagai landasan moderasi beragama. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya membuat pesantren mampu melahirkan generasi muslim yang berakidah kokoh, berfikih mantap, sekaligus memiliki akhlak sosial yang penuh toleransi. Dengan demikian, pesantren berperan strategis dalam menjaga harmoni keagamaan di Indonesia yang plural melalui basis pemikiran Aswaja.

Moderasi beragama secara sederhana dapat dipahami sebagai sikap mengambil jalan tengah, menghindari ekstremitas, dan berusaha menghadirkan agama dalam bentuk yang seimbang, adil, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Moderasi tidak berarti memudarkan prinsip-prinsip agama, melainkan menghindarkan umat dari sikap fanatik buta atau liberal tanpa batas. Dalam hal ini, Aswaja menyediakan kerangka yang kokoh untuk moderasi karena sejak awal kelahirannya ia berusaha menghindari pertentangan ekstrem antara rasionalisme murni Mu’tazilah dan fatalisme Jabariyah. Melalui teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, Aswaja menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu. Melalui fikih mazhab Syafi’i, ia mengajarkan kepatuhan pada hukum syariat sekaligus keluwesan dalam berinteraksi dengan budaya lokal. Melalui tasawuf al-Ghazali, Aswaja mendidik umat agar tidak terjebak dalam spiritualisme kosong, melainkan membumikan nilai-nilai akhlak dalam kehidupan nyata. Semua aspek ini menjadi fondasi yang menjadikan Aswaja identik dengan sikap moderat.

Pesantren di Nusantara tumbuh sebagai lembaga yang menegakkan tradisi Aswaja. Sejak masa Walisongo, ajaran Islam yang diajarkan di bumi Nusantara adalah Islam yang ramah, membumi, dan selaras dengan budaya setempat. Strategi dakwah yang digunakan bukan dengan konfrontasi, melainkan dengan akomodasi dan transformasi nilai. Kearifan lokal tidak dimusnahkan, tetapi diberi makna baru sesuai ajaran Islam. Tradisi-tradisi seperti slametan, tahlilan, dan maulid adalah contoh nyata bagaimana Islam Aswaja hadir dengan wajah moderat yang mampu diterima masyarakat tanpa menimbulkan konflik. Pesantren kemudian menginternalisasikan pola pikir semacam ini ke dalam kurikulum dan kehidupan sehari-hari santri. Dengan demikian, moderasi beragama dalam pesantren bukan sekadar teori, melainkan realitas yang hidup dalam praktik keseharian.

Nilai-nilai Aswaja yang sering dirumuskan dalam empat prinsip, yaitu tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (adil), secara langsung berkelindan dengan gagasan moderasi beragama. Tawassuth mengajarkan santri untuk tidak bersikap ekstrem, baik dalam memahami teks agama maupun dalam menghadapi perbedaan pandangan. Tawazun melatih santri untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara dunia dan akhirat. Tasamuh menjadikan santri terbuka dan menghormati perbedaan, baik sesama muslim maupun dengan pemeluk agama lain. Sedangkan i’tidal menumbuhkan sikap adil, jujur, dan proporsional dalam setiap tindakan. Melalui internalisasi nilai-nilai ini, pesantren berhasil menjadikan Aswaja sebagai dasar kokoh untuk moderasi beragama yang konstruktif.

Dalam konteks sosial-politik Indonesia, peran pesantren dengan basis Aswaja terbukti sangat signifikan. Ketika bangsa ini menghadapi kolonialisme, pesantren menjadi pusat perlawanan dengan mengobarkan jihad yang dilandasi semangat kebangsaan. Namun jihad yang dipahami bukanlah jihad destruktif, melainkan jihad membela tanah air yang juga dipandang sebagai bagian dari iman. Setelah kemerdekaan, pesantren dan kalangan Aswaja mengambil peran penting dalam menjaga persatuan bangsa. Resolusi jihad yang difatwakan KH. Hasyim Asy’ari misalnya, menjadi bukti bagaimana pesantren mampu memadukan nilai keagamaan dengan semangat nasionalisme secara moderat. Moderasi semacam ini terus terjaga hingga kini, menjadikan pesantren sebagai benteng dalam menghadapi ancaman radikalisme dan ekstremisme.

Era kontemporer membawa tantangan baru bagi moderasi beragama. Munculnya gerakan transnasional dengan paham keagamaan yang eksklusif dan tekstualis sering kali menimbulkan gesekan di tengah masyarakat. Di sisi lain, arus liberalisme yang bebas nilai juga menawarkan tafsir keagamaan yang cenderung lepas dari akar tradisi. Dalam kondisi seperti ini, pesantren dengan basis Aswaja tampil sebagai penyeimbang. Melalui pengajian kitab kuning, santri dididik untuk memahami teks klasik secara mendalam, namun juga dilatih dalam forum bahtsul masail untuk merespons persoalan kontemporer dengan metodologi Aswaja. Dengan cara ini, pesantren melahirkan ulama dan intelektual muslim yang tidak hanya menguasai khazanah tradisi, tetapi juga mampu berdialektika dengan problem modern tanpa kehilangan pijakan moderat.

Pendidikan karakter di pesantren pun turut memperkuat moderasi beragama. Santri dibiasakan untuk hidup sederhana, disiplin, dan menghormati guru. Hubungan kiai dan santri bukan hanya relasi akademik, melainkan ikatan spiritual dan moral yang membentuk pribadi rendah hati. Kehidupan asrama yang majemuk dengan santri dari berbagai latar belakang daerah dan budaya melatih mereka untuk terbiasa dengan keberagaman. Semua ini menciptakan kultur pesantren yang selaras dengan prinsip moderasi. Santri tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah terjebak pada fanatisme sempit, karena sejak awal mereka sudah terbiasa menghadapi perbedaan dalam bingkai kebersamaan.

Pesantren juga memainkan peran penting dalam merawat moderasi beragama di level masyarakat. Banyak kiai dan alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat, pemimpin organisasi, hingga pejabat negara. Mereka membawa nilai-nilai Aswaja ke ruang publik, menyuarakan toleransi, dan menjadi penengah dalam konflik. Melalui dakwah kultural, pesantren menyebarkan Islam dengan wajah damai, jauh dari kekerasan. Tradisi keilmuan Aswaja yang berbasis sanad juga memastikan bahwa pemahaman agama tidak liar, melainkan selalu terhubung dengan otoritas ulama. Dengan otoritas inilah pesantren mampu menjaga keseimbangan di tengah derasnya arus ideologi keagamaan global.

Dalam era digital, pesantren dituntut untuk mentransformasikan moderasi beragama ke ruang virtual. Media sosial yang sering kali menjadi arena penyebaran ujaran kebencian dan intoleransi harus dihadapi dengan strategi dakwah yang kreatif. Pesantren dengan basis Aswaja mulai melahirkan generasi santri yang terampil berdakwah melalui media baru. Mereka tidak hanya mengutip teks klasik, tetapi juga mampu menyajikan nilai-nilai moderasi dalam bahasa yang mudah dipahami generasi milenial. Dengan cara ini, Aswaja tetap relevan sebagai basis moderasi beragama, bahkan dalam konteks dunia digital yang serba cepat dan kompleks.

Sejarah panjang pesantren menunjukkan bahwa moderasi beragama bukanlah konsep baru yang dipaksakan dari luar, melainkan bagian integral dari tradisi Aswaja. Nilai-nilai yang diwariskan ulama salaf dan diinternalisasikan melalui pendidikan pesantren telah menjadikan Islam di Nusantara hadir dengan wajah ramah, inklusif, dan penuh toleransi. Ketika dunia diwarnai konflik atas nama agama, pesantren menawarkan teladan bahwa beragama dengan moderat bukan hanya mungkin, tetapi juga niscaya untuk menciptakan perdamaian. Dengan Aswaja sebagai basisnya, pesantren akan terus menjadi pilar moderasi beragama di Indonesia, membentuk generasi muslim yang berilmu, berakhlak, dan mampu hidup berdampingan dalam keberagaman.

Artikel Terkait

Artikel Terbaru