Bincang Novel Iblis Karya Leo Tolstoy: Menelisik Sifat Iblis dalam Diri Manusia
Catatan Kegiatan Reading Club PPM Aswaja Nusantara (Baciro)
Yogyakarta—Pada Kamis (08/06/23) malam telah dilaksanakan agenda rutinan Reading Club (diskusi buku) di Pesantren Pelajar-Mahasiswa (PPM) Aswaja Nusantara Cabang Baciro. Agenda mingguan ini dilaksanakan setiap pukul 19.30 WIB di asrama daerah Baciro dengan peserta yang merupakan santri PPM Aswaja Nusantara sendiri. Nampak juga beberapa peserta dari luar yang antusias mengikuti diskusi kali ini—juga pada diskusi-diskusi sebelumnya.
Kegiatan Reading Club kali ini membincang novel dari sastrawan Rusia yang namanya meraksasa di jagat kesusastraan dunia, yakni Leo Tolstoy dengan judul “Iblis”. Rijal, seorang mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga, menjadi pemantik diskusi dan dipandu oleh moderator, yakni Abid, mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga yang juga sebagai santri PPM Aswaja Nusantara Cabang Baciro.
Rijal sedang menyampaikan materi dengan didampingi moderator | Sumber foto: ©Daniyot
Sebelum memantik diskusi dengan pemaparan mengenai isi novel tersebut, Rijal membuat disclaimer bahwa apa yang disampaikan pada nantinya bisa saja berbeda jauh dari apa yang hendak dikemukakan penulis novel itu sendiri. Dengan rendah hati, hal tersebut dikemukakannya mengingat dirinya sendiri yang tak cukup sering bersinggungan dengan karya sastra, lebih-lebih karya sastra dunia seperti karya-karya Leo Tolstoy ini.
“Sebelumnya,” tutur Rijal, “jika terdapat kesalahpahaman dalam pemaparan, maka saya harap bisa kita diskusikan bersama nanti di sesi tanggapan dan pertanyaan teman-teman semua.” Setelah itu barulah Rijal mulai mendedahnya dengan mengungkap secara singkat biografi Leo Tolstoy, lalu masuk ke isi cerita dan gagasan-gagasan yang ada dalam novel tersebut.
Barangkali nama Leo Tolstoy bukanlah nama yang asing di Indonesia. Sebagai sastrawan besar kelahiran Rusia pada tahun 1828, Tolstoy dikenal seorang penulis dengan gaya realis. Dua buah karyanya yang bisa dibilang sebagai magnum opus ialah “War and Peace” dan “Anna Karenina”. Ia menganggap bahwa sebuah novel berfungsi sebagai potret refleksi kenyataan yang terjadi pada kehidupan masyarakat, potret sosial, hingga politik, secara luas. Potret tersebut juga ditemui di novel “Iblis” yang disampaikan oleh Rijal.
Leo Tolstoy dapat mengemas realita yang terjadi pada manusia dengan bernas. Alih-alih menuliskan bahwa yang begini pasti salah dan yang begitu pasti benar, Tolstoy justru menuliskannya secara adil dan apa adanya. Hal tersebut dapat ditemui melalui cerita dalam novel “Iblis”. Tolstoy menciptakan tokoh rekaan bernama Eugene, seorang lelaki muda yang tampan dan berasal dar keluarga berada.
Dengan bekal pendidikan yang mapan, koneksi yang dimiliki, serta kemapanan finansial keluarganya, Eugene memiliki karir cemerlang. Eugene bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil di salah satu kementerian. Namun setelah sang ayah meninggal, Eugene memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya untuk mengurusi perkebunan warisan dari ayahnya.
Eugene juga memutuskan untuk bermukim di wilayah perkebunan yang terbilang sepi. Saat di sana, Eugene tak menemukan kesenangannya sebagaimana ia menetap di perkotaan, yaitu bertemu wanita-wanita dan tidur bersamanya. hal itu membuat Eugene masygul, hingga akhirnya ia bertemu dengan Stepanida, seorang wanita petani dengan paras menawan dan tubuh yang proporsional.
Meskipun Stepanida sudah bersuami, ia tetap saja main serong dengan lelaki lain. Daam benak Stepanida, suaminya yang bekerja di luar itu tentu juga bersenang-senang dengan wanita lain. Oleh karena itu Stepanida juga memilih bermain-main dengan Eugene, meskipun hanya sesaat untuk melampiaskan berahi.
Hubungan gelap itu tak bertahan lama. Eugene memilih untuk memilih untu menikah dengan Liza, seorang gadis muda cantik, pintar, dan dari kalangan berkelas. Namun, apakah pernikahannya dengan Liza juga turut menghapus jejak gelapnya dengan Stepanida? Nyatanya tidak.
Ketertarikan Eugene terhadap Stepanida masih ada dan diam-diam tumbuh semakin subur dalam dirinya. Cerita semakin memanas ketika Liza sedang mencari orang untuk membantu membereskan tempat tinggalnya. Tak dinyana, orang yang bersedia membantu adalah Stepanida. Sehingga pertemuan yang tak diharapkan itu pun terjadi. Eugene berpapasan dengan Stepanida dan dilema itu datang lagi.
Mengapa pertemuan tersebut tak diharapkan? Pasalnya, di satu sisi, Eugene begitu mencintai Liza dan ingin bersetia dengannya—kendati banyak persoalan yang harus dihadapinya dalam kerumitan berumah tangga. Namun di lain sisi, Eugene tak kuasa membendung hasratnya saat bertemu dengan Stepanida.
Dalam keadaan gundah dan dilema tersebut, antara memilih istri atau bekas selingkuhannya, timbullah dorongan pada diri Eugene untuk membunuh salah satunya, Stepanida. Eugene menganggap bahwa wanita merupakan iblis yang merasuk pada dirinya.
Peserta Reading Club sedang khusyuk menyimak | Foto oleh: ©Nabil
Cerita ini dipungkasi dengan dua kisah berbeda—yang sama-sama tragis. Eugene, yang frustasi karena kedilemaannya itu, serta menganggap wanita sebagai iblis, pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya agar tak lagi kalut dengan cara mensrik pelatuk revolver tepat di pelipisnya. Sedangkan akhir cerita versi kedua, Eugene pada akhirnya menembakkan revolvernya pada bagian punggung Eugene sebanyak tiga kali hingga meninggal.
Dari keseluruhan alur cerita, meskipun Tolstoy merepresentasikannya melalui Eugene bahwa wanita ialah iblis yang merasuki tubuhnya, namun sebenarnya Tolstoy sedang memberikan sajian refleksi yang mendalam: siapakah yang iblis sebenarnya? Wanita (Stepanida) atau Eugene sendiri?
***
Setelah mendedah isi novel tersebut, Rijal menyampaikan bahwa iblis pada dasarnya bukan entitas yang berada di luar manusia, melainkan berada dalam diri manusia itu sendiri. Begitu pula dengan tanggapan salah seorang peserta. Manusia akan selalu memiliki sifat keiblisan pada dirinya. Akal budi manusia-lah yang menekan sifat keiblisan yang bertendensi negatif tersebut dalam diri manusia.
Dengan begitu, karya sastra, khususnya novel “Iblis” karya Leo Tolstoy ini sangat lembut dalam menyuguhkan sajian refleksi pada manusia. “Karya sastra menekankan kesadaran,” ungkap salah satu penanggap, “pengakuan diri pembaca sebagai manusia yang terkungkung, terjebak pada keinginan sendiri.”
Novel “Iblis” ini mengajak pembaca untuk mengetahui problematika manusia yang acapkali sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, getir, dan dilematis. Tanpa perlu meledak-ledakkan mana yang benar mana yang salah, novel ini mampu membuat pembaca tahu bahwa setiap hal pada dasarnya akan memiliki konsekuensi, sehingga manusia hanya perlu memilih dan memikirkan ulang setiap tindakan yang akan dilakukannya. Tak heran jika Leo Tolstoy memiliki pengaruh besar terhadap salah seorang tokoh terkemuka dari India: Mahatma Gandhi.
Tanggapan-tanggapan dari peserta dengan puspawarna perspektif turut memperkaya diskusi yang hangat ini. Mulai dari cinta, perselingkuhan, moral, hingga isu kesehatan mental.
Apa yang terjadi pada tokoh utama, Eugene, di akhir cerita perlu dibaca lebih cermat, bahwa terdapat determinisme kejiwaan yang dialaminya. Hal itu nampak dari perubahan sikapnya yang tiba-tiba brutal dan irasional: yaitu bunuh diri [atau membunuh Stepanida]. Ada unsur-unsur psikis yang dibawakan Tolstoy dalam novel itu dan menjadi salah satu perspektif lain yang diuraikan oleh penanggap terhadap novel tersebut.
Klimaks dari diskusi ini ditandai dengan pertanyaan mengenai relevansi kajian novel ini dalam ruang lingkup pendidikan—mengingat pemantik sendiri merupakan mahasiswa dari Manajemen Pendidikan. Para peserta pun saling urun rembug terkait relevansinya, terkhusus untuk peserta didik yang di antaranya adalah mengenai penguatan karakter, pengendalian diri, serta melek terhadap isu-isu kesehatan mental dalam kungkungan dunia yang kapitalis dan patriarkis saat ini.
Pada intinya, yang menjadi bahan refleksi bersama ialah kehati-hatian dalam menjadi manusia. Bisa saja manusia yang kesadarannya diombang-ambingkan antara kesalahan dan kesalehan akan menjadi iblis, atau bahkan melebihi iblis itu sendiri. Ada [sifat] iblis dalam diri manusia.
Kegiatan ini merupakan agenda rutinan tiap minggunya yang diadakan oleh PPM Aswaja Nusantara. Sebuah upaya kecil untuk menghidupkan spirit membaca dan berliterasi dari akar rumput. Pemantik serta moderatornya dipilih secara bergilir, dan dalam beberapa kesempatan peserta dari luar PPM Aswaja Nusantara dipersilakan untuk menjadi pemantik diskusi.[]
Oleh: Moh. Ainu Rizqi