New-Santri: Fondasi Spiritual yang Membangun Mental Intelektual
Berubah drastis. Datangnya tentara Allah yang tak kasat mata atau yang dalam bahasa populernya sering kita sebut Covid-19 menjadi duduk perkara serius, yang menjadikan seluruh elemen masyarakat penghuni bumi memerlukan ijtihad (baca: usaha untuk terus melanjutkan kehidupan di era pandemi)untuk mencari alternatif-alternatif agar roda kehidupan dapat terus berjalan sebagaimana mestinya.
Mulai dari lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, dunia kepesantrenan, bahkan semua kepala yang masih mengandung nyawa turut merasakan dampak dari adanya wabah tersebut. Kesunyi-senyapan melanda gorong-gorong kehidupan. Pekerjaan dirumahkan, pendidikan dirumahkan, segala kegiatan yang bersifat publik dibatalkan, hingga santri-santri di penjuru Nusantara dipulangkan. Dunia hening untuk beberapa waktu.
Akankah roda perputaran kehidupan terus begitu, hingga pandemi yang tak satu orang pun tahu kapan akan menepi? Tidak. Dalam suasana melankolis yang dirayakan umat manusia sedunia, selalu ada terobosan-terobosan mutakhir yang bermunculan dari para mujtahid (baca: para ahli yang berusaha menemukan solusi). Segala aspek mulai dikaji dari segala kaca mata keilmuan, mulai dari kaca mata saintifik hingga kaca mata religius.
Ya, di satu sisi, adanya pandemi Covid-19 ini perlu kita selami untuk sekadar mengambil mutiara hikmah yang terdapat dalam palungnya. Ijtihad-ijtihad yang dilakukan para ahli dan lembaga yang memiliki kredibilitas kuat mulai membuahkan hasil.
Setelah beberapa purnama, kita dan orang-orang mulai merasa frustasi dan suntuk akibat terlalu lama bersemedi dari virus. Akhirnya sedikit nafas segar mulai meraba di pelupuk keputusasaan. Tepat pada pekan terakhir bulan Mei, Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi resmi diterbitkan.
Dengan diterbitkannya surat keputusan tersebut, maka ada revitalisasi dalam jalannya roda kebiasaan manusia. Ada pembaharuan dalam kultur masyarakat, yang dulunya biasanya biasa-biasa saja, kini terlihat baru: selalu menggunakan masker, hand-sanitizer yang selalu terdapat saku-saku maupun tas kecil, juga diadakannya pertemuan-pertemuan berskala kecil dengan berpegang teguh pada protokol kesehatan.
Selamat datang! Selamat memasuki pada era baru; kebiasaan baru yang kerap kita sebut “New-Normal”. Bagi sebagian orang, era New Normal ini memang terasa asing. Tapi, akankah kita terus menekuk lutut di bawah duka pandemi yang tak segera usang? Dengan mengamini New-Normal inilah kita bisa kembali beraktivitas meski dengan cara-cara baru dan melalui teknologi yang kian matang.
Beberapa lembaga pendidikan mulai mengadakan pembelajaran tatap muka dengan protokol yang ketat, agar tak terjadi penularan yang signifikan terhadap para peserta didik. Meskipun di beberapa wilayah juga terdapat banyak lembaga pendidikan yang melangsungkan pembelajaran dengan daring, itu bukan suatu masalah vital. Sebab kemajuan teknologi yang tak kenal orgasme telah mampu dijangkau oleh hampir seluruh kalangan.
Lembaga pendidikan yang berbasis tradisional, atau yang kerap disebut “pesantren” kini juga sangat dinamis dalam menyikapi New-Normal. Karena pesantren adalah basis pendidikan yang menjadi ujung tombak keilmuan Islam di Indonesia, oleh sebab itu, adanya penerapan New-Normal menjadi suatu hujan anugrah yang sangat dinanti oleh pucuk layu.
Peran santri dalam dunia spiritual sudah tak dapat kita ragukan lagi. La budda (tidak dapat, tidak). Dunia pesantren hingga saat ini masih sangat relevan dalam hal penyampaian ilmu yang musalsal (bersambung) sanadnya. Oleh karenanya, kekokohan spiritual seorang santri yang turun temurun di-ijazah-kan oleh para kyai menjadi fondasi dasar mereka dalam menjalani rutinitas dan adaptasi baru khas New-Normal.
Ada satu maqolah yang cukup masyhur: “Al-muhafadzotu ‘alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yang artinya, “Memelihara yang lama, yang masih baik dan mengambil yang baru, yang lebih baik.” Maqolah ini telah mafhum di kalangan santri dari manapun. Oleh sebab itu, santri-santri tak merasa gagap dan gugup dalam menjalani kehidupan dengan adaptasi baru.
Sejak lampau, santri tak pernah ketinggalan “start” dalam ihwal keilmuan, justru dari santri pula, berbagai macam keilmuan−khususnya agama−dapat terus beregenerasi. Dengan situasi seperti ini, santri seharus-layaknya menjadi lentera bagi masyarakat atau keluarga di sekitarnya. Karena siapa lagi? Jika bukan santri, yang menyinari kehampaan spiritual dan ke-alpha-an intelektual di luar sana.
Lantas, bagaimana “New-Santri” (Santri di era baru)dalam menghadapi segala kebaruan saat ini?
Bagi santri Darul ‘Ulum, tentu tak asing lagi dengan kalimat “Berdzikir kuat, berpikir cepat, bertindak tepat” yang dipopulerkan oleh Almaghfurlah Alm. KH. As’ad Umar. Sejak dulu, kalimat itu memang ideal dan futuristik untuk santri di manapun berada. Terkhusus di masa adaptasi baru ini, kalimat itu teramat relevan untuk dimanifestasikan dalam jejak langkah santri.
Berdzikir kuat, sudah menjadi rahasia umum, jika santri memiliki amalan tersendiri yang musalsal, yang diberikan oleh para kyainya. Dengan situasi seperti ini, justru menjadikan para santri memperkuat dzikir dan doanya kepada Yang Maha Kuasa, dengan harap agar Allah SWT segera mengangkat wabah ini segera dan kita semua dapat memetik hikmah yang terkandung di dalamnya. Bukankah Tuhan tak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia?
Berpikir cepat, dengan berlandaskan maqolah yang disebutkan di atas, tentu santri segera berpikir cepat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini. Kemajuan teknologi yang kian mumpuni juga menjadi sarana santri untuk “Berotak London.” Tentu dengan landasan “Berhati Masjidil Haram,” menjadikan santri semakin adil sejak dalam pikirannya.
Bertindak tepat, ketika seorang santri telah “Berotak London dan berhati Masjidil Haram,” maka dengan sendirinya segala tindak-tanduknya tepat. Tepat dalam artian sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan sejalan dengan kapasitas keilmuannya.
Sebab begitu banyak orang pintar, namun kepandaian itu menjadi asing ketika di kampung halaman. Mengapa demikian terjadi? Karena orang pandai yang tak memiliki basis pesantren terkadang sulit menyesuaikan tindakan yang tepat terhadap orang-orang kampung halamannya.
Berbeda dengan santri, dengan salah satu kebiasaan khasnya yang egaliter−selalu bersama-sama dengan kawan, bagaimanapun keadaannya−selama di pesantren, sepandai dan se-alim apapun, santri tetap dapat melebur dengan segala jenis kalangan masyarakat terdekatnya. Sehingga tak dapat dipungkiri, jika di masa adaptasi keadaan baru atau New-Normal ini, peran santri sangat dibutuhkan dan sangat bermanfaat terhadap sekitarnya.
Seorang sastrawan legendaris Indonesia pernag mengatakan: “Sorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.” Namun, menurut saya pribadi, dan mungkin kalangan umum lainnya, justru seorang santrilah yang telah merealisasikan keadilan sejak dalam pikiran hingga perbuatannya, dengan kekokohan spiritual dan kemapanan intelektualnya.
Ditambah lagi dengan situasi seperti ini, para santri semakin mudah untuk mengakses literatur-literatur digital yang bertebaran di internet sehingga kian matang dan purna pula dalam menjadi lentera bagi lingkungan sekitarnya. (ainu)